Moh. Ma'ruf Khozin
Nara Sumber "Hujjah Aswaja"
tv9
Walisongo
dan para penyebar Islam terdahulu dalam menyebarkan Islam sangat toleran dengan
tradisi lokal yang telah membudaya dalam masyarakat selama tidak bertentangan
dengan akidah dan hukum Islam. Mereka mencoba meraih hati mereka agar masuk
Islam dengan menyelipkan ajaran Islam dalam tradisi mereka.
Dalam
konteks ini seorang Ulama bermadzhab Hambali Syaikh Ibnu Muflih al-Maqdisi
al-Hanbali menegaskan: "Ibnu Aqil berkata: Tidak dianjurkan untuk keluar
dari tradisi masyarakat kecuali dalam hal yang haram. Sebab Rasulullah Saw
membiarkan Ka'bah (tidak sesuai pondasi Nabi Ibrahim), dan beliau bersabda:
Kalau mereka tidak baru saja (masuk Islam) dengan agama jahiliyahnya maka Aku
akan meluruskannya" (al-Adab al-Syar'iyah II/114. Begitu pula dalam kitab
Mathalib Uli al-Nuha II/367)
Mengganti
Tradisi Secara Islami
Jika
mengamati hadis-hadis sahih secara seksama, maka akan dijumpai beberapa metode
dakwah Rasulullah saw yang lebih arif dalam menerima tradisi dengan mengganti
nilai yang ada di dalamnya dengan ajaran Islam, tidak dengan menghilangkan
tradisi tersebut secara keseluruhan. Hal ini dapat kita saksikan dari beberapa
hadis berikut ini:
1.
Hari Raya
"An
Anasin qala: Qadima Rasulullah Saw al Madinata wa lahum yaumani yal'abuna
fihim. Fa qala: Qad Abdalakum bihima khairan minhuma, yaumal adlha wa yauma
al-fitri". Artinya: "Diriwayatkan dari Anas, ia berkata: ketika
Rasulullah Saw tiba di Madinah, penduduknya telah memiliki dua hari (Nairuz dan
Mahrajan) yang dijadikan sebagai hari bersenang-senang mereka. Kemudian
Rasulullah bersabda: Sesungguhnya Allah telah menggantikan kedua hari itu bagi
kalian dengan yang lebih baik, yaitu Hari Adlha dan Fitri" (HR Ahmad No:
12025, Abu Dawud No: 1134, al-Nasai dalam Sunan al-Kubra No: 1755, Abu Ya'la No
3820, al-Hakim No: 1091, dan ia berkata Hadis ini sahih sesuai kriteria Muslim)
Ahli Hadis Ibnu Hajar berkata:"Diriwayatkan oleh Abu Dawud dan
al-Nasai dengan sanad yang sahih"
(Bulugh al-Maram I/179)
Dalam
hadis tersebut dijelaskan tentang latar belakangnya bahwa di Madinah (sebelum
Rasulullah hijrah bernama Yatsrib) para penduduknya telah memiliki 2 nama hari
yang dijadikan sebagai hari perayaan, yaitu Nairuz dan Mahrajan, dengan
bersenang-senang, persembahan pada berhala dan sebagainya. Maka, kedatangan
Islam tidak menghapus tradisi berhari raya, namun dengan merubah rangkaian
ritual yang ada di dalamnya dengan salat dan sedekah dalam Idul Fitri, juga
salat dan ibadah haji atau qurban dalam idul Adlha (HR al-Baihaqi dalam Syu'ab
al-Iman No 3710).
2.
Thawaf
Begitu
pula ritual kaum Musyrikin Jahiliyah dalam melakukan tawaf di Ka'bah. Ahli
sejarah Syaikh Ibnu Ishaq berkata: "Para lelaki melakukan tawaf dengan
telanjang. Sementara perempuan, diantara mereka melepas seluruh pakaiannya
kecuali baju perang yang dilempar ke arahnya kemudian dikelilingi…. Hal itu
terus berlangsung hingga Allah mengutus Nabi-Nya Saw" (Ibnu Ishaq dalam
al-Sirah al-Nabawiyah I/30)
Setelah
Islam datang, hal yang diluruskan adalah tatacara tawaf yang sesuai Syariat,
yaitu menutup aurat, dan bukan menghapus ritual tawaf itu sendiri yang telah
ada sejak masa Nabi Ibrahim As, sebagaimana dalam firman Allah Swt al-A'raf:
31: "Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki)
masjid, makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah
tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan"
Ibnu
Katsir berkata: "Ayat yang mulia ini adalah bantahan kepada kaum Musyrikin
yang melakukan tawaf di Ka'bah dengan telanjang, sebagaimana riwayat Muslim (No
3028) dan al-Nasa'i (V/233)" (Ibnu Katsir III/405)
Demikian
halnya cara dakwah yang dijalankan oleh para Walisongo khususnya di tanah Jawa.
Para wali sangat arif dengan budaya lokal pra Islam, seperti kenduren
sebelum perkawinan, tingkeban saat kehamilan, 7 hari, 40 hari dan 100 hari
setelah kematian dan tradisi selametan lainnya. Budaya ini tidaklah serta merta
dihapus oleh para penyebar Islam tersebut, tetapi diisi dengan nilai-nilai yang
sesuai ajaran Islam seperti baca al-Quran, shalawat, sedekah dan lainnya
sebagaimana cara yang dilakukan oleh Rasulullah ketika di Madinah dalam merubah
isi hari raya dan meluruskan tatacara dalam melakukan tawaf di Ka'bah.
Ahli hadis Syaikh asy-Syaukani berkata: "Tradisi
yang berlaku di sebagian negara dengan berkumpul di masjid untuk membaca
al-Quran dan dihadiahkan kepada orang-orang yang telah meninggal, begitu pula
perkumpulan di rumah-rumah, maupun perkumpulan lainnya yang tidak ada dalam
syariah, tidak diragukan lagi apabila perkumpulan tersebut tidak mengandung
maksiat dan kemungkaran, hukumnya adalah boleh. Sebab pada dasarnya perkumpulannya sendiri tidak
diharamkan, apalagi dilakukan untuk ibadah seperti membaca al-Quran dan
sebagainya. Dan tidaklah dilarang menjadikan bacaan al-Quran itu
untuk orang yang meninggal. Sebab membaca al-Quran secara berjamaah ada
dasarnya seperti dalam hadis: Bacalah Yasin pada orang-orang yang meninggal.
Ini adalah hadis sahih. Dan tidak ada bedanya antara membaca Yasin berjamaah di
depan mayit atau di kuburannya, membaca seluruh al-Quran atau sebagiannya,
untuk mayit di masjid atau di rumahnya" (Rasail al-Salafiyah, Syaikh Ali
bin Muhammad as Syaukani, 46)
Kesamaan Tradisi
Beberapa pihak menuduh tradisi yang telah berlaku di
sebagian masyarakat sebagai bid'ah karena mewarisi tradisi agama sebelum Islam
di Jawa, yaitu Budha dan Hindu, sehingga praktek semacam ini hukumnya haram
dilakukan karena menyerupai (tasyabbuh) dengan tradisi agama lain,
sebagaimana mereka mengharamkan perayaan maulid Nabi Saw karena dianggap
menyerupai perayaan kelahiran dalam agama lain, yaitu natal dalam agama
Kristen. Ini adalah jalan ijtihad yang dangkal, bahwa setiap hal yang memiliki
kesamaan dengan agama lain akan divonis sebagai bentuk tasyabbuh
(penyerupaan) yang diharamkan dalam hadis Nabi Saw. Sebab tidak semua bentuk tasyabbuh
dalam kesamaan tradisi akan mengarah pada persamaan subtansi kandungan dalam
tradisi tersebut, salah satu contohnya adalah riwayat hadis-hadis sahih
berikut:
1.
Puasa Asyura
"Diriwayatkan dari Ibnu Abbas, ia berkata: Ketika
Rasulullah Saw tiba di Madinah beliau menjumpai Yahudi berpuasa pada 10
Muharram (Asyura'). Mereka
ditanya mengenai hal itu, mereka menjawab: Pada hari ini Allah memberi
kemenangan pada Musa dan Bani Israil atas Firaun, dan kami berpuasa pada hari
ini sebagai bentuk pengagungan kepadanya. Kemudian Rasulullah Saw bersabda:
Kami lebih berhak dengan Musa daripada kalian. Lalu Rasul memerintahkan
berpuasa pada hari itu" (HR al-Bukhari No 3943)
Asyura'
ini tidak hanya diagungkan oleh Yahudi saja, tapi kaum Musyrikin juga
mengagungkannya:
"Diriwayatkan
dari Aisyah bahwa Kafir Quraisy berpuasa pada hari Asyura' di masa Jahiliyah,
kemudian Rasulullah memerintahkan berpuasa Asyura. Hingga telah diwajibkan
puasa Ramadlan, Rasulullah bersabda: Barangsiapa bersedia maka berpuasalah,
barangsiapa tidak bersedia maka berbukalah" (HR al-Bukhari No 1893)
2.
Mendirikan Salat Jumat
Begitu
pula dalam salat Jumat yang diprakarsai oleh umat Islam yang ada di Madinah. "Diriwayatkan
dari Muhammad bin Sirin, ia berkata: Sebelum Rasulullah Saw hijrah ke Madinah
dan sebelum diturunkannya perintah salat Jumat, penduduk Madinah berkumpul,
kemudian mereka berkata: Sesungguhnya Yahudi memiliki hari yang dijadikan
sebagai hari perkumpulan setiap 7 hari, begitu pula Nashrani. Maka hendaknya
kita menjadikan sebuah hari dimana kita berkumpul untuk berdzikir kepada Allah,
kita salat dan kita bersyukur kepada-Nya. Mereka menjadikannya pada hari Arubah
(Jumat), dan mereka berkumpul di rumah As'ad bin Zarari untuk salat bersama
mereka. Kemudian Allah menurunkan ayat tentang salat Jumat" (Riwayat
Abdurrazzaq dalam al-Mushannaf No: 5144)
Ahli hadis al-Hafidz Ibnu Hajar berkata:
"Sanadnya sahih secara mursal" (Raudlah
al-Muhadditsin I/332). al-Hafidz Ibnu Hajar juga berkata: "Riwayat ini
meskipun mursal namun diperkuat dengan sanad yang hasan, yang diriwayatkan oleh
Ahmad, Abu Dawud, Ibnu Majah, disahihkan oleh Ibnu Khuzaimah dan yang lain dari
Ka'b bin Malik" (Fathul Bari II/355)
Dua
riwayat diatas menunjukkan bahwa puasa Asyura dan Perkumpulan 7 hari sekali
dalam Salat Jumat adalah tradisi dari agama Yahudi, Nashrani dan Musyrikin
jahiliyah. Lalu apakah puasa Asyura dan salat Jumat dihukumi haram karena tasyabbuh
dengan agama lain? Jawabannya tidak karena meski sama tapi ibadahnya berbeda,
bahkan kedua peristiwa ini ditetapkan dalam agama Islam.
komsultasi LBM
1.
Bekas hitam Di Dahi Tanda Sujud? (2)
Tema
ini direspon beragam oleh para pembaca Biswah. Salah satunya dari Hamba Allah
yang memiliki tanda hitam 'bekas' sujud yang tidak disengaja muncul dengan
sendirinya di wajahnya karena sering melakukan ibadah salat wajib dan sunah.
Akan
kami ulas terlebih dulu apa yang dimaksud 'bekas sujud' (atsar as-sujud)
dalam ayat al-Quran Surat al-Fath: 29. Diantara para ulama ada yang menafsirkannya
sebagai cahaya yang terpancar dari wajah kelak di hari kiamat, penafsiran ini
berdasarkan riwayat at-Thabrani (Tafsir Nadzmu ad-Durar, al-Biqa'I, VIII/143).
Ahli
tafsir dari kalangan sahabat, Ibnu Abbas, menafsirkannya sebagai 'perilaku yang
baik'. Sementara Ahli Tafsir dari kalangan Tabi'in, Mujahid, menafsirkannya
sebagai cahaya dari kekhusyukan (Tafsir at-Tahrir wa at-Tanwir, Ibnu 'Asyur,
26/201)
Ada
pula yang menafsirkannya sebagai tanda yang terlihat di wajah karena sering
sujud. Namun Imam Malik menggarisbawahi: "Bukan berarti para ulama (yang
punya tanda hitam) secara sengaja melakukannya, tetapi tanda itu muncul secara
tidak disengaja karena seringnya sujud ke tanah (tanpa alas seperti sajadah). Dalam
hal ini hukumnya boleh selama tidak disengaja memunculkan tanda tersebut dan
tidak memiliki tujuan riya' atau pamer kepada orang lain" (Tafsir
at-Tahrir wa at-Tanwir, Ibnu 'Asyur, 26/201)
Sebab
ketika seseorang secara sengaja berupaya ada tanda hitam di kepalanya sebagai
bentuk riya', maka hukumnya tidak diperbolehkan, bahkan beberapa ahli tafsir
menilai hal tersebut sebagai tanda dari Kaum Khawarij, kelompok sempalan dalam
Islam yang mengkafirkan sahabat-sahabat Rasulullah Saw yang terlibat peperangan
antara Sayidina Ali dan Muawiyah (Tafsir ash-Shawi 4/89)
نظم الدرر للبقاعي - (ج 8 /
ص 143)
{ سيماهم } أي علامتهم التي لا تفارقهم { في
وجوههم } ثم بين العلامة بقوله : { من أثر السجود } فهي نور يوم القيامة - رواه
الطبراني عن أبي بن كعب رضي الله عنه النبي صلى الله عليه وسلم - هذا مع ما لهم من
مثل ذلك في الدنيا من أثر الخشوع والهيبة بحيث إنه إذا رئي أحدهم أورث لرائيه ذكر
الله ، وإذا قرأ أورثت قراءته حزناً وخشوعاً وإخباتاً وخضوعاً ، وإن كان رث الحال
رديء الهيئة ، ولا يظن أن من السيما ما يصنعه بعض المرائين من هيئة أثر سجود في
جبهته ، فإذا ذلك من سيما الخوارج
حاشية
الصاوي على الجلالين ج 4 ص 89
{ قوله سِيمَاهُمْ فِى وُجُوهِهِم مِّنْ أَثَرِ السُّجُودِ } اختلف في
تلك السيما فقيل ان مواضع سجودهم يوم القيامة ترى كالقمر ليلة البدر وقيل هو
صفرة الوجوه من سهر الليل وقيل الخشوع الذي يظهر على الاعضاء حتى يتراءى انهم مرضى
ةليسوا بمرضى وليس المراد به ما بصنعه بعض الجهلة المرائين من العلامة في
الجبهة فانه من فعل الخوارج وفي الحديث اني لابغض الرجل واكرهه اذا رايت بين عينيه
اثر السجود
- Shalawat Untuk Penutup Majlis
Sudah menjadi tradisi di
masyarakat setiap kali ada pertemuan selalu ditutup dengan pembacaan shalawat,
seakan-akan shalawat tersebut menjadi aba-aba untuk perpisahan. Bagaimanakah
hukumnya? Syarif, Sidoarjo
Jawaban
Membaca shalawat kepada
Nabi Muhammad Saw merupakan perintah langsung dari Allah (al-Ahzab: 56), membaca
shalawat juga tidak ada pembatasan waktu dan berapa jumlah bilangannya. Yang
jelas, umat Islam membaca shalawat minimal 17 kali selama sehari-semalam saat
menjalankah ibadah salat.
Khusus membaca shalawat
saat menutup pertemuan seperti yang berlaku di masyarakat saat ini memiliki
landasan dalil dari hadis Rasulullah Saw. yang berbunyi: "Ma jalasa qaumun
majlisan tsumma tafarraqu 'an ghairi shalatin 'ala an-Nabiyyi shallallahu
alaihi wa sallama illa tafarraqu 'ala antana min rihi al-jifati", artinya:
"Tidak ada satu kelompok yang duduk dalam satu majlis kemudian mereka
membubarkan diri tanpa membaca shalawat kepada Nabi Saw, kecuali mereka bubar
dalam keadaan lebih busuk daripada bau bangkai" (HR an-Nasai dalam Sunan
al-kubra No 10244)
hadis yang senada juga
diriwayatkan oleh al-Hakim (No 2017), ia mengatakan sahih dan disetujui oleh
adz-Dzahabi, juga oleh Turmudzi (No 3708) dan ia mengatakan "Hadis ini
Hasan-Sahih"
Ahli hadis al-Hafidz
as-Sakhawi (murid al-Hafidz Ibnu Hajar) mengatakan bahwa hadis diatas adalah
dalil untuk menutup majlis atau pertemuan dengan bacaan shalawat kepada Nabi
Muhammad Saw (al-Qaul al-Badi' fi Shalati 'ala al-habin asy-syafi' 242)
السنن
الكبرى للنسائي - (ج 6 / ص 109)
(10244) أخبرنا
أحمد بن عبد الله بن علي بن سويد بن منجوف قال حدثنا أبو داود عن يزيد بن إبراهيم
عن أبي الزبير عن جابر أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال ما جلس قوم مجلسا ثم
تفرقوا عن غير صلاة على النبي صلى الله عليه وسلم إلا تفرقوا على أنتن من ريح
الجيفة
- Memakai Surban dan Songkok
Benarkah bahwa surban
adalah pakaian tradisi Arab? Apakah Rasulullah juga memakai songkok? Sebab saya
pernah menjumpai salah satu Dai yang menyatakan bahwa baik surban ataupun
songkok tidak sunah. Terimakasih atas jawabannya. Bayu, Sby
Jawaban:
Kendatipun ada beberapa
anggapan dari berbagai pihak bahwa surban sebenarnya sebuah pakaian tradisional
bagi bangsa Arab untuk melindungi diri dari hawa udara yang sangat panas di
padang pasir, namun mayoritas ulama mengatakan bahwa memakai surban adalah
sunah. sebagaimana riwayat dari Ibnu Umar: "Kana Rasulullah Saw idza
I'tamma sadala 'imamatahu baina katfaiha", artinya: "ketika
Rasulullah saw memakai surban, maka beliau mengurai surbannya sampai menutupi
kedua bahunya" (HR Turmudzi No 185, ia berkata: Hadis ini Hasan-Gharib)
Al Hafidz as-Suyuthi
menjelaskan lebih terperinci tentang surban dan songkok yang dipakai Rasulullah
Saw: "Nabi Muhammad terkadang memakai songkok (Qalansuwat) di bawah
surbannya, terkadang memakai songkok tanpa surban, terkadang juga memakai
surban tanpa menggunakan songkok… Surban yang sering dipakai Rasulullah adalah
yang warna hitam seperti hitamnya benda yang terbakar api, beliau juga mengikat
surban di kepala" (al-Hawi lil Fatawi I/97)
Sebagai kesimpulan kami
kutipkan pernyataan Ahli Hadis Syaikh al-Munawi: "Surban adalah sunah para
Rasul, kebiasaan para Nabi dan Sayyid" (Faidl al-Qadir IV/429). Sedangkan
orang yang tidak menutup kepala (dengan songkok, surban dll), menurut Imam
an-Nawawi dapat mengurangi muru'ah-nya (harga diri yang mulia)".
(al-Majmu' XX/227)
سنن
الترمذى - (ج 7 / ص 53)
1840
- حَدَّثَنَا هَارُونُ بْنُ إِسْحَاقَ الْهَمْدَانِىُّ حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ
مُحَمَّدٍ الْمَدَنِىُّ عَنْ عَبْدِ الْعَزِيزِ بْنِ مُحَمَّدٍ عَنْ عُبَيْدِ
اللَّهِ بْنِ عُمَرَ عَنْ نَافِعٍ عَنِ ابْنِ عُمَرَ قَالَ كَانَ النَّبِىُّ -صلى
الله عليه وسلم- إِذَا اعْتَمَّ سَدَلَ عِمَامَتَهُ بَيْنَ كَتِفَيْهِ. قَالَ
نَافِعٌ وَكَانَ ابْنُ عُمَرَ يَسْدِلُ عِمَامَتَهُ بَيْنَ كَتِفَيْهِ. قَالَ
عُبَيْدُ اللَّهِ وَرَأَيْتُ الْقَاسِمَ وَسَالِمًا يَفْعَلاَنِ ذَلِكَ. قَالَ
أَبُو عِيسَى هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ غَرِيبٌ