Senin, 03 Maret 2014

Menghormati dan Mengikuti Ulama Pewaris Nabi

Kita tidak bisa belajar Islam langsung dari Al Qur’an dan Hadits. Saat Allah menurunkan Al Qur’an pun Allah tidak menurunkannya langsung dalam bentuk buku kepada manusia. Tetapi secara bertahap ayat demi ayat melalui Nabi Muhammad SAW selama 23 tahun. Nabi menjelaskan ayat-ayat Al Qur’an tersebut serta memberi contoh bagaimana cara melaksanakan perintah Allah seperti Sholat, Puasa, Zakat, dsb.
Firman Allah:
“…Bertanyalah kepada Ahli Zikir (Ulama) jika kamu tidak mengetahui” [An Nahl 43]
Nah kita kalau tak tahu harus bertanya kepada Ulama yang senang berzikir kepada Allah. Bukan ulama Su’ yang lupa kepada Allah.
Allah meninggikan ulama dibanding orang2 awam. Pemahaman Ulama terhadap Al Qur’an dan Hadits atau masalah, itu lebih baik daripada pemahaman orang-orang awam:
” ….Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan, Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS Al Mujaadilah [58] : 11)
Katakanlah: “Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?” Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran. Az-Zumar [39]: 9).
“Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama”. (TQS.Fathir [35]: 28)
„Adakah sama antara orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui? (Az-Zumar:9)
“Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman diantaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat.” (Al-Mujadilah:11)
Kita harus memuliakan apa yang dimuliakan Allah:
“Demikianlah, dan barangsiapa mengagungkan perkara-perkara yang dihormati oleh Alloh, maka hal itu lebih baik baginya di sisi Alloh.” [al-Hajj: 30]
“Demikianlah, dan barangsiapa mengagungkan syiar-syiar Alloh, maka sesungguhnya hal itu termasuk ketakwaan hati.” [al-Hajj: 32]


Muliakanlah Ulama:
Dari Abu Musa r.a., katanya: “Rasulullah s.a.w. bersabda: “Setengah daripada cara mengagungkan Allah Ta’ala ialah dengan jalan memuliakan orang Islam yang sudah beruban serta orang yang hafal al-Quran yang tidak melampaui batas ketentuan -dalam membacanya- dan tidak pula meninggalkan membacanya. Demikian pula memuliakan seorang sultan -penguasa pemerintahan yang adil-.” Hadits hasan yang diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud.
Dari Amr bin Syu’aib dari ayahnya dari neneknya r.a., katanya: “Rasulullah s.a.w. bersabda: “Tidak termasuk golongan kita -umat Islam- orang yang tidak belas kasihan kepada golongan kecil diantara kita -baik usia atau kedudukannya- serta tidak termasuk golongan kita pula orang yang tidak mengerti kemuliaan -cara memuliakan- yang tua diantara kita.” hadits shahih yang diriwayatkan oleh Imam-imam Abu Dawud dan Tirmidzi. Imam Tirmidzi mengatakan bahwa ini adalah hadits hasan shahih.
Allah juga menyatakan bahwa hanya dengan ilmu orang bisa memahami perumpamaan yang diberikan Allah untuk manusia.
“Dan perumpamaan-perumpamaan ini Kami buatkan untuk manusia, dan tiada memahaminya kecuali orang-orang yang berilmu” (Al ‘Ankabut:43)
Tuhan juga menegaskan hanya dengan ilmulah orang bisa mendapat petunjuk Al Qur’an.
“Sebenarnya, Al Qur’an itu adalah ayat2 yang nyata di dalam dada orang-orang yang diberi ilmu” (Al Ankabut:49)
Dalam Kitab Ihya ‚Uluumuddiin susunan Imam Al Ghazali disebut bahwa Nabi berkata: „Di akhirat nanti tinta ulama ditimbang dengan darah para syuhada. Ternyata yang lebih berat adalah tinta ulama!“
Nabi Muhammad SAW juga sangat menghargai orang yang berilmu.
“Ulama adalah pewaris para Nabi” Begitu sabdanya seperti yang dimuat di HR Abu Dawud.
Bahkan Nabi tidak tanggung2 lebih menghargai seorang ilmuwan daripada satu kabilah. “Sesungguhnya matinya satu kabilah itu lebih ringan daripada matinya seorang ‘alim.” (HR Thabrani)
Hilangnya ilmu bukan karena ilmu itu dicabut oleh Allah. Bukan karena Kitab Al Qur’an dan Hadits menghilang dari peredaran. Tapi hilang dengan wafatnya para Ulama yang menguasai ilmu tersebut.
Hadis riwayat Abdullah bin Amru bin Ash ra., ia berkata:
Aku pernah mendengar Rasulullah saw. bersabda: Sesungguhnya Allah tidak mengambil ilmu dengan cara mencabutnya begitu saja dari manusia, akan tetapi Allah akan mengambil ilmu dengan cara mencabut (nyawa) para ulama, sehingga ketika Allah tidak meninggalkan seorang ulama pun, manusia akan mengangkat pemimpin-pemimpin yang bodoh yang apabila ditanya mereka akan memberikan fatwa tanpa didasarkan ilmu lalu mereka pun sesat serta menyesatkan. (Shahih Muslim No.4828)
Sesungguhnya Allah tidak menahan ilmu dari manusia dengan cara merenggut tetapi dengan mewafatkan para ulama sehingga tidak lagi tersisa seorang alim. Dengan demikian orang-orang mengangkat pemimpin-pemimpin yang dungu lalu ditanya dan dia memberi fatwa tanpa ilmu pengetahuan. Mereka sesat dan menyesatkan. (Mutafaq’alaih)
Sehingga akhirnya orang-orang bodoh yang tidak faqih lah yang membaca kitab Al Qur’an dan Hadits dengan pemahaman yang keliru.
Seorang ‘alim juga lebih tinggi dari pada seorang ahli ibadah yang sewaktu2 bisa tersesat karena kurangnya ilmu.
“Keutamaan orang ‘alim atas orang ahli ibadah adalah seperti keutamaan diriku atas orang yang paling rendah dari sahabatku.” (HR At Tirmidzi).
Kelebihan seorang alim (ilmuwan) terhadap seorang ‘abid (ahli ibadah) ibarat bulan purnama terhadap seluruh bintang. (HR. Abu Dawud )
Barangsiapa merintis jalan mencari ilmu maka Allah akan memudahkan baginya jalan ke surga. (HR. Muslim)
Duduk bersama para ulama adalah ibadah. (HR. Ad-Dailami)
Termasuk mengagungkan Allah ialah menghormati (memuliakan) ilmu, para ulama, orang tua yang muslim dan para pengemban Al Qur’an dan ahlinya[1], serta penguasa yang adil. (HR. Abu Dawud dan Aththusi)
Jangan merendahkan ulama:
Janganlah kalian menuntut ilmu untuk membanggakannya terhadap para ulama dan untuk diperdebatkan di kalangan orang-orang bodoh dan buruk perangainya. Jangan pula menuntut ilmu untuk penampilan dalam majelis (pertemuan atau rapat) dan untuk menarik perhatian orang-orang kepadamu. Barangsiapa seperti itu maka baginya neraka … neraka. (HR. Tirmidzi dan Ibnu Majah)
Saat ini ada beberapa “ulama” yang pendapatnya bukan cuma berbeda. Tapi bertentangan. Bahkan ada yang saling mengkafirkan satu sama lain. Nah, ulama manakah yang harus kita ikuti?
Imam Al Ghazali membagi ulama jadi 2: 1. Ulama Akhirat yang lurus, 2. Ulama Su’ / Ulama Dunia yang jahat dan sesat.
Saat itu terjadi, ikutilah Jumhur/Mayoritas Ulama. Karena merekalah yang lurus:
“Untuk golongan kanan, yaitu segolongan besar dari orang-orang yang terdahulu. dan segolongan besar pula dari orang-orang yang kemudian.” [Al Waaqi'ah 38-40]
Mungkin ada yang berpendapat dengan mengutip ayat bahwa sebagian besar MANUSIA sesat. Mereka tidak paham yang disebut adalah SEBAGIAN BESAR MANUSIA. Bukan SEBAGIAN BESAR MUSLIM. Kalau Muslim, sebagaimana ayat di atas, sebagian besar adalah lurus. Justru sebagian kecil/firqoh itulah yang sesat. Ada tambahan dalilnya:
Dua orang lebih baik dari seorang dan tiga orang lebih baik dari dua orang, dan empat orang lebih baik dari tiga orang. Tetaplah kamu dalam jamaah. Sesungguhnya Allah Azza wajalla tidak akan mempersatukan umatku kecuali dalam petunjuk (hidayah) (HR. Abu Dawud)
Sesungguhnya umatku tidak akan bersatu dalam kesesatan. Karena itu jika terjadi perselisihan maka ikutilah suara terbanyak. (HR. Anas bin Malik)
Kekuatan Allah beserta jama’ah (seluruh umat). Barangsiapa membelot maka dia membelot ke neraka. (HR. Tirmidzi)
Jika ada “ulama akhir zaman” yang mencaci ulama Salaf misalnya Imam Abu Hasan Al Asy’ari yang hidup di abad 3 Hijtriyah, maka ulama akhir zaman itulah yang sesat:
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Sebaik-baik manusia adalah generasiku (sahabat), kemudian orang-orang sesudah mereka (tabi’in), kemudian orang-orang sesudah mereka (tabi’ut tabi’in).”
dalam lafazh lain disebutkan bahwa,
“Sebaik-baik zaman adalah zamanku (zaman para sahabat), kemudian yang setelahnya (zaman tabi’in), kemudian yang setelahnya (zaman tabi’ut tabi’in).”
(HR. Bukhari no. 6429 dan Muslim no. 2533 hadits ini adalah Mutawatir)
Meski demikian, kita tidak boleh taqlid buta kepada para ulama. Khususnya para Ulama Firqoh/Sempalan yang pendapatnya bertentangan dengan Al Qur’an dan Hadits serta Jumhur Ulama:
Mengapa orang-orang alim mereka, pendeta-pendeta mereka tidak melarang mereka mengucapkan perkataan bohong dan memakan yang haram? Sesungguhnya amat buruk apa yang telah mereka kerjakan itu. “ [Al Maa-idah:63]
“Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan selain Allah dan (juga mereka mempertuhankan) Al Masih putera Maryam, padahal mereka hanya disuruh menyembah Tuhan yang Esa, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia. Maha suci Allah dari apa yang mereka persekutukan. “ [At Taubah:31]
Hati-hati pula kepada Dai Neraka yang malah mengajak kita masuk neraka. Saat Allah melarang kita untuk Su’udzon, Ghibah, Fitnah, Mengkafirkan sesama Muslim, membunuh sesama Muslim, mereka justru mengajak kita melakukan itu meski mereka mengaku-ngaku sebagai menegakkan Tauhid, Menghidupkan Sunnah, dsb. Padahal apa yang mereka lakukan bertentangan dengan Al Qur’an:
Dari Hudzaifah Ibnul Yaman ra berkata: Manusia bertanya kepada Rasulullah SAW tentang kebaikan, sedangkan aku bertanya kepada beliau tentang keburukan karena khawatir jangan-jangan menimpaku. Maka aku bertanya; Wahai Rasulullah, sebelumnya kita berada di zaman Jahiliah dan keburukan, kemudian Alloh mendatangkan kebaikan ini. Apakah setelah ini ada keburukan?
Beliau bersabda: ‘Ada’. Aku bertanya: Apakah setelah keburukan itu akan datang kebaikan? Beliau bersabda: “Ya, akan tetapi di dalamnya ada dakhanun”.
Aku bertanya: Apakah dakhanun itu? Beliau menjawab: “Suatu kaum yang mensunnahkan selain sunnahku dan memberi petunjuk dengan selain petunjukku. Jika engkau menemui mereka maka ingkarilah”.
Aku bertanya: Apakah setelah kebaikan itu ada keburukan? Beliau bersabda: “Ya”, dai – dai yang mengajak ke pintu Jahanam. Barang siapa yang mengijabahinya, maka akan dilemparkan ke dalamnya.
Aku bertanya: Wahai Rasulullah, berikan ciri-ciri mereka kepadaku. Beliau bersabda: “Mereka mempunyai kulit seperti kita dan berbahasa dengan bahasa kita”.
Aku bertanya: Apa yang engkau perintahkan kepadaku jika aku menemuinya? Beliau bersabda: “Berpegang teguhlah pada Jama’ah Muslimin dan imamnya”.
Aku bertanya: “Bagaimana jika tidak ada jama’ah maupun imamnya?”
Beliau bersabda: “Hindarilah semua firqah itu, walaupun dengan menggigit pokok pohon hingga maut menjemputmu sedangkan engkau dalam keadaan seperti itu”. (Riwayat Bukhari VI615-616, XIII/35. Muslim XII/135-238 Baghawi dalam Syarh Sunnah XV/14. Ibnu Majah no. 3979, 3981. Hakim IV/432. Abu Dawud no. 4244-4247.Baghawi XV/8-10. Ahmad V/386-387 dan hal. 403-404, 406 dan hal. 391-399)
Jadi jika antar firqoh2 itu saling bermusuhan, bertentangan, bahkan saling bunuh, hindari firqoh2 tersebut agar kita tidak tersesat. Jauhi Fitnah/Pembunuhan:
Jangan mendekati fitnah jika sedang membara dan jangan menghadapinya bila sedang timbul, bersabarlah bila fitnah datang menimpa. (HR. Ath-Thabrani)
Hadis riwayat Abu Hurairah ra., ia berkata: Bahwa Rasulullah saw. bersabda: Akan terjadi fitnah di mana orang yang duduk (menghindar dari fitnah itu) lebih baik daripada yang berdiri dan orang yang berdiri lebih baik daripada yang berjalan dan orang yang berjalan lebih baik daripada yang berlari (yang terlibat dalam fitnah). Orang yang mendekatinya akan dibinasakan. Barang siapa yang mendapatkan tempat berlindung darinya, hendaklah ia berlindung. (Shahih Muslim No.5136)

Semoga bermanfaat dan menjadikan kita sebagai orang-orang yang cinta bersholawat yang membawa kita cinta kepada Allah dan Rasulullah SAW serta para pewaris Rasulullah SAW.
Allahu a’lam Bisshowab


Keterangan tambahan :
Ciri-ciri Ulama yang lurus pewaris Nabi adalah memiliki Akhlaq yang mulia seperti Nabi:
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu…” [Al Ahzab 21]
“Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu ma’afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu…” [Ali 'Imran 159]
Nabi berdakwah dengan cara yang baik. Tidak kasar dan menebar kebencian:
Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik…” (QS An-Nahl: 125).
Bahkan terhadap Yahudi yang kafir dan dilaknat Allah pun Nabi tidak menggeneralisir semuanya kafir dan memaki mereka dengan kata2 kafir dsb. Tapi mendakwahi mereka dengan lembut sehingga banyak orang2 Yahudi seperti Abdulllah bin Salam dsb masuk Islam:
Anas r.a. berkata, “Ada seorang Yahudi melayani Nabi, kemudian ia jatuh sakit. Maka, Nabi datang menjenguknya, duduk di dekat kepalanya seraya bersabda kepadanya, ‘Masuk Islamlah.’ Lalu, ia melihat ayahnya yang ada di sisinya. Ayahnya berkata kepadanya, ‘Taatilah Abul Qasim saw.’ Lalu ia masuk Islam, kemudian Nabi keluar seraya mengucapkan, ‘Segala puji bagi Allah yang telah menyelamatkan ia dari neraka.’
“Sesungguhnya yang terbaik di antara kalian adalah yang paling baik akhlaknya.” (HR. al-Bukhari, 10/378 dan Muslim no. 2321)
Sebaliknya orang yang kasar dan kaku/ekstrim dan suka mengadu-domba ummat Islam sehingga saling berkalahi/bunuh jangan diikuti. Karena itu cuma menyeret kita ke neraka:
“Tidak akan masuk jannah orang yang kasar dan kaku.” (HR. at-Tirmidzi)
Nabi senang mendamaikan sesama Muslim. Bukan justru mengadu-domba mereka karena tidak akan masuk surga orang yang gemar mengadu-domba.
“Rasulullah s.a.w. bersabda: “Tidak dapat masuk surga seorang yang gemar mengadu domba.” (Muttafaq ‘alaih)
Allah Ta’ala berfirman: “Jangan pula engkau mematuhi orang yang suka mencela, berjalan membuat adu domba.” (al-Qalam: 11)
Begitu pula “Ulama” yang mudah mengkafirkan sesama Muslim, padahal menurut Jumhur/Mayoritas Ulama mereka tidak kafir/sesat, jangan diikuti karena bertentangan dengan Al Qur’an dan Hadits:
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu pergi (berperang) di jalan Allah, maka telitilah dan janganlah kamu mengatakan kepada orang yang mengucapkan “salam” kepadamu (atau mengucapkan Tahlil): “Kamu bukan seorang mukmin” (lalu kamu membunuhnya), dengan maksud mencari harta benda kehidupan di dunia, karena di sisi Allah ada harta yang banyak. Begitu jugalah keadaan kamu dahulu [dulu juga kafir], lalu Allah menganugerahkan nikmat-Nya atas kamu, maka telitilah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. ” [An Nisaa' 94]
Tiga perkara berasal dari iman: (1) Tidak mengkafirkan orang yang mengucapkan “Laailaaha illallah” karena suatu dosa yang dilakukannya atau mengeluarkannya dari Islam karena sesuatu perbuatan; (2) Jihad akan terus berlangsung semenjak Allah mengutusku sampai pada saat yang terakhir dari umat ini memerangi Dajjal tidak dapat dirubah oleh kezaliman seorang zalim atau keadilan seorang yang adil; (3) Beriman kepada takdir-takdir. (HR. Abu Dawud)

Jangan mengkafirkan orang yang shalat karena perbuatan dosanya meskipun (pada kenyataannya) mereka melakukan dosa besar. Shalatlah di belakang tiap imam dan berjihadlah bersama tiap penguasa. (HR. Ath-Thabrani)
Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka...” [Al Fath 29]
Kalau ada “Ulama” yang memfitnah Muslim lainnya sebagai Musyrik, dialah yang musyrik:
“Sesungguhnya yang paling aku khawatirkan atas kamu adalah seseorang yang telah membaca (menghafal) al-Qur’ân, sehingga ketika telah tampak kebagusannya terhadap al-Qur’ân dan dia menjadi pembela Islam, dia terlepas dari al-Qur’ân, membuangnya di belakang punggungnya, dan menyerang tetangganya dengan pedang dan menuduhnya musyrik”. Aku (Hudzaifah) bertanya, “Wahai nabi Allâh, siapakah yang lebih pantas disebut musyrik, penuduh atau yang dituduh?”. Beliau menjawab, “Penuduhnya”. (HR. Bukhâri dalam at-Târîkh, Abu Ya’la, Ibnu Hibbân dan al-Bazzâr. Disahihkan oleh Albani dalam ash-Shahîhah, no. 3201)
Jauhi juga “Ulama” yang menghasud untuk membunuh sesama Muslim sejalan dengan kepentingan Yahudi dan Nasrani:

“Maka kamu akan melihat orang-orang yang ada penyakit dalam hatinya (orang-orang munafik) bersegera mendekati mereka (Yahudi dan Nasrani), seraya berkata: “Kami takut akan mendapat bencana.” Mudah-mudahan Allah akan mendatangkan kemenangan (kepada Rasul-Nya), atau sesuatu keputusan dari sisi-Nya. Maka karena itu, mereka menjadi menyesal terhadap apa yang mereka rahasiakan dalam diri mereka.” [Al Maa-idah 52]

0 komentar:

Posting Komentar